Kamis, 17 Mei 2012

Mari Menghina Bangsa Sendiri


(Renungan Harkitnas 2007) 
Oleh:
 M. Syukur Salman 

Hari Kebangkitan Nasional setiap tahun kita peringati sebagai suatu tonggak bersejarah bangsa ini. Semangat persatuan suatu bangsa dimulai dengan rasa Nasionalisme yang menjadi sendinya. Perjuangan kedaerahan pada saat itu dengan serta merta ditinggalkan, lalu diganti dengan perjuangan persatuan dan kesatuan. 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai tolok ukur adanya kemauan untuk menyatakan Indonesia sebagai Bangsa yang Merdeka. Hal ini penting, karena pada saat itu sebagian besar dari rakyat Indonesia sendiri yakin bahwa bangsa ini tak akan berubah dari kodratnya sebagai Bangsa Terjajah. Perjalanan atas kesadaran Bangsa Indonesia untuk merdeka baru terwujud hampir 40 tahun lamanya, yakni 17 Agustus 1945. Sungguh suatu perjalanan waktu yang tidak singkat. Sedikit demi sedikit kesadaran Bangsa ini muncul akan potensi yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia termasuk bangsa-bangsa yang telah merdeka sebelumnya.
 

Suatu bangsa yang besar akan mengalami pasang surut persoalan kebangsannya. Indonesia sebagai bangsa yang besar telah mengalami berbagai macam tantangan yang menerpa dan memporak-porandakan sendi-sendi kebangsaan. Disaat bangsa-bangsa lain memacu diri dengan persaingan yang ketat demi kemajuannya, kita masih berkutat dengan persoalan di dalam negeri sendiri yang hampir-hampir terasa tiada habisnya. Konsekuensi dari itu semua adalah semakin berkurangnya rasa nasionalisme bangsa ini. Hal yang sungguh tragis adalah banyak dari anak bangsa ini yang justru "menghina" Indonesia sebagai bangsa tempatnya berdiam, berusaha, beranak pinak, dan terutama bangsa tempatnya hidup dan memberi kehidupan kepadanya,
 

Disadari atau tidak, banyak di antara anak bangsa ini yang "menghina" Indonesia. Bahkan yang paling memuakkan jika yang "menghina" itu adalah seorang publik figur negeri ini. Dengan intelegensi yang "katanya" tinggi, mereka dengan lapangnya melontarkan "penghinaan" terhadap bangsanya. Perbandingan yang kurang fair pun dia kemukakan antar Indonesia dengan Negara lainnya. Anak-anak kita yang mendengar pembicaraan demikian akan tumbuh menjadi penerus-penerus yang tidak cinta akan negeri sendiri. "Penghinaan" terhadap bangsa ini mereka kemukakan dengan lelucon demi suatu tujuan yang sangat nista yakni popularitas. Sebagai seorang akademisi, pejabat, birokrat, dan lainnya seolah mereka berkata: Mari bersama-sama Kita Menghina Bangsa Sendiri.
 

Kondisi saat ini memang sulit. Oleh karena itu, mari kita bersama merasakan kesulitan ini. Tak elegan kiranya jika kita menjadikan kondisi sulit ini untuk mencari popularitas dengan "menjual dan menghina" keterpurukan Indonesia saat ini. Tak ada yang anda perbaiki dengan terus menerus "menghina" bangsa ini. Dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsa ini, masyarakat kita justru memandang anda sebagai seorang frustrasi. Tidaklah layak mereka-mereka yang gemar "menghina" Indonesia dijadikan pembicara dalam suatu pertemuan, apalagi pertemuan ilmiah yang melibatkan akademisi atau unsur pendidikan.
 

Sebagai masyarakat sebaiknya kita menyaring setiap pembicara yang akan didengar. Pembicara-pembicara yang hanya membuat audiensnya tertarik mendengar bicaranya dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsanya sendiri, haruslah diyakini bahwa mereka kurang berkualitas. Bahkan akan lebih baik jika pembicara atau tokoh yang demikian kita boikot dengan meninggalkannya pada saat mereka berbicara. Kurang sopankah tindakan kita? Pembicara yang baik tentulah tidak pantas jika kita tinggalkan, tapi pembicara yang "menghina" bangsanya sendiri sudah sepatutnya mereka mengoceh sendiri saja.
 

Kita salut atas keberatan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia baru baru ini atas penggunaan kata "Indon" untuk menyebut Bangsa Indonesia. Ada nuansa ejekan dengan penggunaan kata "Indon" tersebut. Di dunia ini tak ada Negara bernama Indon, tapi yang ada adalah Indonesia. Jika anak-anak bangsa ini masih tergugah nasionalismenya walaupun mereka nun jauh di negeri orang, mengapa kita justru menjadi orang-orang yang kehilangan nasionalisme kita, dengan menjadikan nuansa keterpurukan bangsa ini sebagai bahan lelucon dan hinaan. Dengan "menghina" Indonesia sebenarnya justru berarti kita menghina diri kita sendiri? Suatu kesalahan besar yang telah kita perbuat, yakni menghina diri sendiri. Kita sebenarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia ini sebagai suatu bangsa.
 

Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum yang paling tepat untuk menyadari kekhilafan kita selama ini. Bagaimana mungkin kita tidak menyadari, jika siang hari dengan tertawa kita "menghina" Indonesia dan selanjutnya malam hari kita mereguk keindahannya tidur di bumi Indonesia. Tak ada yang dapat berkelit bahwa bangsa kita saat ini memang terpuruk. Tapi pada bagian sejarah manakah dari perjalanan bangsa ini yang lebih terpuruk dibanding saat masa penjajahan dahulu? Lalu mengapa bangsa kita dapat lepas dari keterpurukan penjajahan tersebut? Jawabnya kecintaan terhadap negeri ini. Mereka sadar bahwa walau ap yang terjadi pada negeri ini, disinilah mereka lahir, hidup, dan akhirnya mati.
 

Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini sebenarnya dapat memberi kita inspirasi terhadap perjuangan para pendahulu mengangkat keterpurukan bangsa ini. Tapi suatu tindakan yang sangat janggal jika kita dengan asyiknya mengumbar "hinaan" akan keterpurukan itu. Kesadaran kita akan terpuruknya bangsa ini sebaiknya dicetuskan dengan menjadi orang-orang yang inisiator dan kreatif. Mulailah dari kita sendiri. Bagaimana kita berkata jujur pada anak istri kita di rumah, jika kita seorang kepala rumah tangga. Bagaimana kita jujur kepada bawahan kita, tidak korupsi, dan selalu tak tenang akan penyelewengan dan ketidak jujuran, jika kita seorang pemimpin. Sebagai guru, kita jalankan tugas mengajar dan mendidik dengan baik. Sebagai Kepala Sekolah, mari kita gunakan dana-dana yang diterima sesuai peruntukannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kecil yang justru sangat berpengaruh akan perubahan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju. Akhirnya, ucapan selamat kepada semua anak bangsa yang masih punya idealisme dan nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia. SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih :)

Kamis, 17 Mei 2012

Mari Menghina Bangsa Sendiri


(Renungan Harkitnas 2007) 
Oleh:
 M. Syukur Salman 

Hari Kebangkitan Nasional setiap tahun kita peringati sebagai suatu tonggak bersejarah bangsa ini. Semangat persatuan suatu bangsa dimulai dengan rasa Nasionalisme yang menjadi sendinya. Perjuangan kedaerahan pada saat itu dengan serta merta ditinggalkan, lalu diganti dengan perjuangan persatuan dan kesatuan. 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai tolok ukur adanya kemauan untuk menyatakan Indonesia sebagai Bangsa yang Merdeka. Hal ini penting, karena pada saat itu sebagian besar dari rakyat Indonesia sendiri yakin bahwa bangsa ini tak akan berubah dari kodratnya sebagai Bangsa Terjajah. Perjalanan atas kesadaran Bangsa Indonesia untuk merdeka baru terwujud hampir 40 tahun lamanya, yakni 17 Agustus 1945. Sungguh suatu perjalanan waktu yang tidak singkat. Sedikit demi sedikit kesadaran Bangsa ini muncul akan potensi yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia termasuk bangsa-bangsa yang telah merdeka sebelumnya.
 

Suatu bangsa yang besar akan mengalami pasang surut persoalan kebangsannya. Indonesia sebagai bangsa yang besar telah mengalami berbagai macam tantangan yang menerpa dan memporak-porandakan sendi-sendi kebangsaan. Disaat bangsa-bangsa lain memacu diri dengan persaingan yang ketat demi kemajuannya, kita masih berkutat dengan persoalan di dalam negeri sendiri yang hampir-hampir terasa tiada habisnya. Konsekuensi dari itu semua adalah semakin berkurangnya rasa nasionalisme bangsa ini. Hal yang sungguh tragis adalah banyak dari anak bangsa ini yang justru "menghina" Indonesia sebagai bangsa tempatnya berdiam, berusaha, beranak pinak, dan terutama bangsa tempatnya hidup dan memberi kehidupan kepadanya,
 

Disadari atau tidak, banyak di antara anak bangsa ini yang "menghina" Indonesia. Bahkan yang paling memuakkan jika yang "menghina" itu adalah seorang publik figur negeri ini. Dengan intelegensi yang "katanya" tinggi, mereka dengan lapangnya melontarkan "penghinaan" terhadap bangsanya. Perbandingan yang kurang fair pun dia kemukakan antar Indonesia dengan Negara lainnya. Anak-anak kita yang mendengar pembicaraan demikian akan tumbuh menjadi penerus-penerus yang tidak cinta akan negeri sendiri. "Penghinaan" terhadap bangsa ini mereka kemukakan dengan lelucon demi suatu tujuan yang sangat nista yakni popularitas. Sebagai seorang akademisi, pejabat, birokrat, dan lainnya seolah mereka berkata: Mari bersama-sama Kita Menghina Bangsa Sendiri.
 

Kondisi saat ini memang sulit. Oleh karena itu, mari kita bersama merasakan kesulitan ini. Tak elegan kiranya jika kita menjadikan kondisi sulit ini untuk mencari popularitas dengan "menjual dan menghina" keterpurukan Indonesia saat ini. Tak ada yang anda perbaiki dengan terus menerus "menghina" bangsa ini. Dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsa ini, masyarakat kita justru memandang anda sebagai seorang frustrasi. Tidaklah layak mereka-mereka yang gemar "menghina" Indonesia dijadikan pembicara dalam suatu pertemuan, apalagi pertemuan ilmiah yang melibatkan akademisi atau unsur pendidikan.
 

Sebagai masyarakat sebaiknya kita menyaring setiap pembicara yang akan didengar. Pembicara-pembicara yang hanya membuat audiensnya tertarik mendengar bicaranya dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsanya sendiri, haruslah diyakini bahwa mereka kurang berkualitas. Bahkan akan lebih baik jika pembicara atau tokoh yang demikian kita boikot dengan meninggalkannya pada saat mereka berbicara. Kurang sopankah tindakan kita? Pembicara yang baik tentulah tidak pantas jika kita tinggalkan, tapi pembicara yang "menghina" bangsanya sendiri sudah sepatutnya mereka mengoceh sendiri saja.
 

Kita salut atas keberatan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia baru baru ini atas penggunaan kata "Indon" untuk menyebut Bangsa Indonesia. Ada nuansa ejekan dengan penggunaan kata "Indon" tersebut. Di dunia ini tak ada Negara bernama Indon, tapi yang ada adalah Indonesia. Jika anak-anak bangsa ini masih tergugah nasionalismenya walaupun mereka nun jauh di negeri orang, mengapa kita justru menjadi orang-orang yang kehilangan nasionalisme kita, dengan menjadikan nuansa keterpurukan bangsa ini sebagai bahan lelucon dan hinaan. Dengan "menghina" Indonesia sebenarnya justru berarti kita menghina diri kita sendiri? Suatu kesalahan besar yang telah kita perbuat, yakni menghina diri sendiri. Kita sebenarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia ini sebagai suatu bangsa.
 

Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum yang paling tepat untuk menyadari kekhilafan kita selama ini. Bagaimana mungkin kita tidak menyadari, jika siang hari dengan tertawa kita "menghina" Indonesia dan selanjutnya malam hari kita mereguk keindahannya tidur di bumi Indonesia. Tak ada yang dapat berkelit bahwa bangsa kita saat ini memang terpuruk. Tapi pada bagian sejarah manakah dari perjalanan bangsa ini yang lebih terpuruk dibanding saat masa penjajahan dahulu? Lalu mengapa bangsa kita dapat lepas dari keterpurukan penjajahan tersebut? Jawabnya kecintaan terhadap negeri ini. Mereka sadar bahwa walau ap yang terjadi pada negeri ini, disinilah mereka lahir, hidup, dan akhirnya mati.
 

Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini sebenarnya dapat memberi kita inspirasi terhadap perjuangan para pendahulu mengangkat keterpurukan bangsa ini. Tapi suatu tindakan yang sangat janggal jika kita dengan asyiknya mengumbar "hinaan" akan keterpurukan itu. Kesadaran kita akan terpuruknya bangsa ini sebaiknya dicetuskan dengan menjadi orang-orang yang inisiator dan kreatif. Mulailah dari kita sendiri. Bagaimana kita berkata jujur pada anak istri kita di rumah, jika kita seorang kepala rumah tangga. Bagaimana kita jujur kepada bawahan kita, tidak korupsi, dan selalu tak tenang akan penyelewengan dan ketidak jujuran, jika kita seorang pemimpin. Sebagai guru, kita jalankan tugas mengajar dan mendidik dengan baik. Sebagai Kepala Sekolah, mari kita gunakan dana-dana yang diterima sesuai peruntukannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kecil yang justru sangat berpengaruh akan perubahan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju. Akhirnya, ucapan selamat kepada semua anak bangsa yang masih punya idealisme dan nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia. SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih :)