Kamis, 17 Mei 2012

Mari Menghina Bangsa Sendiri


(Renungan Harkitnas 2007) 
Oleh:
 M. Syukur Salman 

Hari Kebangkitan Nasional setiap tahun kita peringati sebagai suatu tonggak bersejarah bangsa ini. Semangat persatuan suatu bangsa dimulai dengan rasa Nasionalisme yang menjadi sendinya. Perjuangan kedaerahan pada saat itu dengan serta merta ditinggalkan, lalu diganti dengan perjuangan persatuan dan kesatuan. 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai tolok ukur adanya kemauan untuk menyatakan Indonesia sebagai Bangsa yang Merdeka. Hal ini penting, karena pada saat itu sebagian besar dari rakyat Indonesia sendiri yakin bahwa bangsa ini tak akan berubah dari kodratnya sebagai Bangsa Terjajah. Perjalanan atas kesadaran Bangsa Indonesia untuk merdeka baru terwujud hampir 40 tahun lamanya, yakni 17 Agustus 1945. Sungguh suatu perjalanan waktu yang tidak singkat. Sedikit demi sedikit kesadaran Bangsa ini muncul akan potensi yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia termasuk bangsa-bangsa yang telah merdeka sebelumnya.
 

Suatu bangsa yang besar akan mengalami pasang surut persoalan kebangsannya. Indonesia sebagai bangsa yang besar telah mengalami berbagai macam tantangan yang menerpa dan memporak-porandakan sendi-sendi kebangsaan. Disaat bangsa-bangsa lain memacu diri dengan persaingan yang ketat demi kemajuannya, kita masih berkutat dengan persoalan di dalam negeri sendiri yang hampir-hampir terasa tiada habisnya. Konsekuensi dari itu semua adalah semakin berkurangnya rasa nasionalisme bangsa ini. Hal yang sungguh tragis adalah banyak dari anak bangsa ini yang justru "menghina" Indonesia sebagai bangsa tempatnya berdiam, berusaha, beranak pinak, dan terutama bangsa tempatnya hidup dan memberi kehidupan kepadanya,
 

Disadari atau tidak, banyak di antara anak bangsa ini yang "menghina" Indonesia. Bahkan yang paling memuakkan jika yang "menghina" itu adalah seorang publik figur negeri ini. Dengan intelegensi yang "katanya" tinggi, mereka dengan lapangnya melontarkan "penghinaan" terhadap bangsanya. Perbandingan yang kurang fair pun dia kemukakan antar Indonesia dengan Negara lainnya. Anak-anak kita yang mendengar pembicaraan demikian akan tumbuh menjadi penerus-penerus yang tidak cinta akan negeri sendiri. "Penghinaan" terhadap bangsa ini mereka kemukakan dengan lelucon demi suatu tujuan yang sangat nista yakni popularitas. Sebagai seorang akademisi, pejabat, birokrat, dan lainnya seolah mereka berkata: Mari bersama-sama Kita Menghina Bangsa Sendiri.
 

Kondisi saat ini memang sulit. Oleh karena itu, mari kita bersama merasakan kesulitan ini. Tak elegan kiranya jika kita menjadikan kondisi sulit ini untuk mencari popularitas dengan "menjual dan menghina" keterpurukan Indonesia saat ini. Tak ada yang anda perbaiki dengan terus menerus "menghina" bangsa ini. Dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsa ini, masyarakat kita justru memandang anda sebagai seorang frustrasi. Tidaklah layak mereka-mereka yang gemar "menghina" Indonesia dijadikan pembicara dalam suatu pertemuan, apalagi pertemuan ilmiah yang melibatkan akademisi atau unsur pendidikan.
 

Sebagai masyarakat sebaiknya kita menyaring setiap pembicara yang akan didengar. Pembicara-pembicara yang hanya membuat audiensnya tertarik mendengar bicaranya dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsanya sendiri, haruslah diyakini bahwa mereka kurang berkualitas. Bahkan akan lebih baik jika pembicara atau tokoh yang demikian kita boikot dengan meninggalkannya pada saat mereka berbicara. Kurang sopankah tindakan kita? Pembicara yang baik tentulah tidak pantas jika kita tinggalkan, tapi pembicara yang "menghina" bangsanya sendiri sudah sepatutnya mereka mengoceh sendiri saja.
 

Kita salut atas keberatan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia baru baru ini atas penggunaan kata "Indon" untuk menyebut Bangsa Indonesia. Ada nuansa ejekan dengan penggunaan kata "Indon" tersebut. Di dunia ini tak ada Negara bernama Indon, tapi yang ada adalah Indonesia. Jika anak-anak bangsa ini masih tergugah nasionalismenya walaupun mereka nun jauh di negeri orang, mengapa kita justru menjadi orang-orang yang kehilangan nasionalisme kita, dengan menjadikan nuansa keterpurukan bangsa ini sebagai bahan lelucon dan hinaan. Dengan "menghina" Indonesia sebenarnya justru berarti kita menghina diri kita sendiri? Suatu kesalahan besar yang telah kita perbuat, yakni menghina diri sendiri. Kita sebenarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia ini sebagai suatu bangsa.
 

Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum yang paling tepat untuk menyadari kekhilafan kita selama ini. Bagaimana mungkin kita tidak menyadari, jika siang hari dengan tertawa kita "menghina" Indonesia dan selanjutnya malam hari kita mereguk keindahannya tidur di bumi Indonesia. Tak ada yang dapat berkelit bahwa bangsa kita saat ini memang terpuruk. Tapi pada bagian sejarah manakah dari perjalanan bangsa ini yang lebih terpuruk dibanding saat masa penjajahan dahulu? Lalu mengapa bangsa kita dapat lepas dari keterpurukan penjajahan tersebut? Jawabnya kecintaan terhadap negeri ini. Mereka sadar bahwa walau ap yang terjadi pada negeri ini, disinilah mereka lahir, hidup, dan akhirnya mati.
 

Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini sebenarnya dapat memberi kita inspirasi terhadap perjuangan para pendahulu mengangkat keterpurukan bangsa ini. Tapi suatu tindakan yang sangat janggal jika kita dengan asyiknya mengumbar "hinaan" akan keterpurukan itu. Kesadaran kita akan terpuruknya bangsa ini sebaiknya dicetuskan dengan menjadi orang-orang yang inisiator dan kreatif. Mulailah dari kita sendiri. Bagaimana kita berkata jujur pada anak istri kita di rumah, jika kita seorang kepala rumah tangga. Bagaimana kita jujur kepada bawahan kita, tidak korupsi, dan selalu tak tenang akan penyelewengan dan ketidak jujuran, jika kita seorang pemimpin. Sebagai guru, kita jalankan tugas mengajar dan mendidik dengan baik. Sebagai Kepala Sekolah, mari kita gunakan dana-dana yang diterima sesuai peruntukannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kecil yang justru sangat berpengaruh akan perubahan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju. Akhirnya, ucapan selamat kepada semua anak bangsa yang masih punya idealisme dan nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia. SEKIAN.

Kajian Teoritis Mengenai Ketimpangan Gender


Oleh : JUNAIDI, SE,M.Si (junaidi_chaniago@yahoo.com) 
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Jambi 

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perem¬puan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. 

Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelat¬ihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991). 

Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori segmen¬tasi pasar tenaga kerja dan teori feminis. Dua teori pertama lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. 

Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai varia¬bel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaan- perbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasion¬al. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994). 

Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (prime-age) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982). 

Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibat¬kan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated jobs, sehingga perempuan terkon¬sentrasi secara berlebih dalam suatu range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut. 

Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan landasan yang sama, kare¬nanya tidak mempunyai akses yang sama ke lapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi. 

Selanjutnya, untuk teori feminis, terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan feminis radikal, feminis marxis (sosialis) dan feminis liberal (Saptari,1997). Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketim¬pangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengen¬dali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Pandangan feminis radikal ini terlalu menonjolkan determinisme biologis dan tidak mampu menjelaskan mengapa fakta perbedaan seks bisa ber¬kembang menjadi perbedaan gender. Adapun pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengung¬guli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan. Pendekatan feminis marxis ini terlalu memfokuskan pada hubungan perempuan dengan kapital dan cara-cara berproduk¬si dan kurang menyoroti sebab-sebab ketimpangan gender dan subordinasi perempuan. Sedangkan pendekatan feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. 

Selanjutnya pendekatan feminis liberal, kedudukan perempuan yang relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang menempat¬kan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan disosialisasikan pada kegiatan-kegia¬tan domestik dan sifat-sifat kewanitaan seperti sekreta¬ris, resepsionis, waitres dan lainnya. Perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenderungan pekerjaan menerima perintah bagi perempuan dan memberi perintah bagi peker¬jaan laki-laki (Collins, 1991). 

Terbentuknya perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki, dimana wilayah kekuasaan perempuan di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah. Hal ini dapat dilihat dari perspektif (Berger dan Luckmann,1976): Pertama, konstruksi Sosial, yang menerangkan bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Menurut Berger, karena a. Proses eksternalisasi, yaitu suatu nilai yang diproduksi oleh individu dari yang tidak ada menjadi ada. b. Proses objektivikasi, yaitu kesepakatan-kesepaka¬tan tadi menjadi realitas sosial atau proses penolakan dan proses penerimaan sehingga realitas terbentuk. c. Proses Internalisasi, yaitu dari individu itu sendiri karena sebenarnya individu merupakan bagian dari masyarakat sosial. Kedua, Reproduksi Sosial, yaitu bagaimana sebenar¬nya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan/diintensifkan. Hal ini dilakukan a. dengan simbol-simbol, seperti dibentuknya 'Dharma Wanita' yang sebenarnya lebih menguatkan posisi perempuan di bidang domestik dan laki-laki di bidang publik, b. reproduksi status biologis perempuan, misalnya perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan berkaitan dengan kesehatan, melahirkan, perempuan yang sedang menstruasi lebih emo¬sional sehingga dapat merugikan perempuan dalam dunia kerja. c. reproduksi status kultural perempuan, misalnya perempuan lebih telaten, rapi,dll, sehingga perempuan diberikan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (sebagai pekerja marginal). 

Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu yang mewujud dari nilai-nilai yang diproduksi individu tersebut. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Mar'at (1982) persepsi ini sangat berhubungan dengan intuisi dan tercermin dalam bentuk perasaan senang/tidak senang terhadap sesuatu. 

Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit untuk memisahkan pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini berkaitan dengan konsep ketimpangan gender sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemud¬ian menjadi realitas objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam Abdullah (1996), setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur sosialnya. 

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objek¬tivikasi tersebut dapat menjadi suatu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Dengan demikian menurut Astuti (1997) banyak kaum perempuan yang menerima ketida¬kadilan jender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. 

Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Menurut Astuti (1997), kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Dapat dilihat dari pernya¬taan seorang pengusaha perempuan sebagaimana yang dikutip Hariadi (1997) yang mengemukakan bahwa berdasarkan penga¬lamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntung¬kan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi. Lebih lanjut dia mengemu¬kakan bahwa secara psikologis sikap itu memang pembawaan dari sifat-sifat kaum perempuan. 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus ketim¬pangan gender tersebut. Di samping upaya-upaya pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak, juga telah diatur dalam berbagai konvensi dan perundang-undangan. Pada tahun 1976, PBB telah mengeluarkan Deklarasi mengenai penghapu¬san diskriminasi terhadap perempuan. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Selanjutnya karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka sejak tahun 1984 dengan UU RI No. 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 

Namun demikian upaya tersebut tidak akan berhasil dengan baik jika tidak diikuti oleh perubahan dalam kon¬struksi sosial. Raharjo (1996) mengemukakan harus diadakan dekonstruksi hubungan gender dan reorientasi pemahaman seksualitas. Dekonstruksi sosial pada tahap awal akan berdampak pada perubahan persepsi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan terhadap hubungan gender tersebut. Pada tahap selanjutnya, hal tersebut sekaligus juga akan dapat memp¬erbaiki ketimpangan gender yang terjadi. 




Seni Budaya & Tradisi Luhur

Oleh: Joshua W. Utomo 

Salah satu seni-budaya warisan nenek moyang kita yang dulu sangat populer dan dinanti-nanti kehadirannya oleh masyarakat baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan: kesenian Wayang Kulit kini tampak berjuang keras mempertahankan eksistensinya.
 

Lambat laun jumlah penggemarnya pun mulai berkurang-tak sebanyak dulu lagi. Memang ada banyak faktor penyebab berkurangnya animo masyarakat terhadap seni Wayang Kulit ini, salah satunya adalah munculnya dunia hiburan produk asing yang telah menjarah seluruh pelosok wilayah di Indonesia ini.
 

Tak hanya di kota-kota metropolitan bahkan di dusun-dusun terpencil pun sudah bisa kita rasakan pengaruh Power Rangers, Pokemon, Terminator, Rambo, Superman, Batman dan sebagainya, menggantikan kehadiran tokoh-tokoh pewayangan seperti Puntadewa, Werkudoro, Janaka, Sri Raja Kresna, Sang Panakawan-Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, dan seterusnya.
 

Anak-anak kita kini tampaknya lebih familiar dengan nama-nama super-hero asing itu daripada nama-nama tokoh pewayangan atau cerita rakyat negeri sendiri.
 

Anak-anak kita itu (juga sebagian dari kita) kelihatannya merasa lebih sreg, modern dan bonafide bila bisa mengikuti perkembangan dunia super-hero produk asing itu.
 

Mereka pun tampaknya bangga sekali kalau memiliki nama dan atribut yang digunakan oleh super-hero asing itu. Sebaliknya mereka akan berkerut tak mengerti atau malah mungkin menolak mentah-mentah ketika diperkenalkan dan diajak rembugan atau nonton sajian Seni Wayang Kulit yang notabene produk negeri sendiri dengan segala keindahannya itu.
 

Sungguh amat disayangkan bila anak-anak kita, generasi penerus seni-budaya dan tradisi kita sudah mulai tidak mengenal dan tak-peduli lagi pada seni-budaya dan tradisi luhur nenek moyang yang tercipta, tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses panjang dan tak mudah itu.
 

Sepertinya sinyalemen adanya sikap-sikap ketidak-pedulian dan ketidak-mauan anak-anak kita untuk mengenal, menggali, dan mempelajari seni-budaya dan tradisi luhur itu bukanlah sesuatu sikap yang mengada-ada atau ketakutan yang tak beralasan.
 

Di saat yang seperti ini usaha dan karya nyata para pecinta dan aktivis (baca: seniman/seniwati) seni-budaya dan tradisi luhur yang mengakar di Bumi Pertiwi sungguhlah amat kita butuhkan. Bukan hanya untuk tujuan 'ngleluri' (melestarikan) tapi sekaligus 'menggethok-tularkan' (mengajar-sampaikan, menyebar-luaskan, membimbing) anak-anak kita yang sudah sedemikian 'kepincut' dan 'kedanan' dengan tokoh-tokoh super-hero produk asing yang tampil silih-berganti di layar TV setiap hari di tengah ruang keluarga kita.
 

Akan lebih menggila lagi pengaruh super-hero asing itu bila ada fasilitas unit komputer beserta aneka variasi video games dan permainan animasi di rumah, sehingga tak pelak lagi semakin bertubi-tubi pula pengaruh kuat super-hero asing yang seringkali diwarnai dengan adegan brutal, ceceran darah, dan bisingnya suara tembakan itu kepada anak-anak kita itu.
 

Lalu apakah kita harus menolak dan membuang semua yang berbau teknologi mutakhir dan produk asing? Tentu saja tidak demikian. Hasil karya manusia yang berupa kreasi teknologi mutakhir (baik itu kreasi domestik ataupun asing) ini malah sepatutnyalah kita syukuri dan nikmati.
 

Kita pergunakan dengan sebuah kesadaran penuh bahwa itu semua hanyalah untuk kebaikan dan kesejahteraan kita semua, terutama anak-anak--generasi penerus kita di masa mendatang. Bila penggunaan kreasi teknologi mutakhir itu sudah mulai melenceng dari kesadaran diri itu, maka saatnya ada upaya tegas untuk menyetopnya. Sebab bila tidak kerusakan dan kehancuran saja yang akan menemani kita semua.
 

Semoga anak-anak kita nantinya mau menengok, menggali, dan mempelajari kembali warisan seni-budaya dan tradisi luhur (pen: yang luhur saja, lho!) nenek moyang kita, baik itu yang berupa seni Tari, seni pagelaran Wayang Kulit, seni sastra, dan sebagainya. Sehingga nantinya gejolak sikap dan praktek brutal, tawuran, balang-balangan yang menggerogoti mental dan pola pikir anak-anak kita itu bisa terkikis bersih, digantikan oleh sebuah budaya seni edi peni yang halus dan luhur yang mampu mengasah budi pekerti dan mempertajam rasa kemanusiaan serta mengembalikan kemanusiaan anak-anak kita (juga kita) demi kebaikan dan kesejahteraan kita semua.
 

Salam Budaya,
 
JW Utomo
 
psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri dari Heal & Grow CenterT (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar KinanthiT(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo ProductionsT (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com.



Sebuah Refleksi Pendidikan Untuk Masa Depan


Oleh : Ubedilah Badrun 

Sengaja tulisan ini dibuat untuk sekedar urun rembuk dalam rangka menyambut peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei 2005. Hari dimana 116 tahun yang lalu lahir seorang tokoh yang kemudian segenap hidupnya dicurahkan untuk kepentingan pendidikan anak bangsa walau harus menerima resiko merasakan kerasnya penjara kolonial Belanda. Dia pernah membuat Belanda marah dengan tulisanya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was. Dia adalah Ki Hajar Dewantara, anak Keraton yang tidak mau memakai embel-embel Raden di depan namanya. Ia menangis dan kemudian bergerak ketika melihat anak bangsa tidak bisa sekolah karena sekolah yang dibuat Belanda sangat diskriminatif dan cenderung hanya untuk orang-orang kaya. Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah untuk semua anak bangsa. Di sekolah inilah karakter kebangsaan anak bangsa di bentuk untuk masa depan bangsanya, sebuah kemerdekaan. Inilah salah satu titik penting, betapa pendidikan merupakan wahana yang paling strategis untuk membangun masa depan bangsa sebagaimana yang dicontohkan Ki Hajar Dewantara.
 

Kini, ketika kemerdekaan bangsa sudah lebih dari 59 tahun, persoalan pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak masalah dan bahkan mengalami keterpurukan. Banyak para ahli pendidikan mengemukakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia hari ini adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kesalahan kebijakan pemerintah Orde Baru(1966-1998) yang tidak peduli pada pendidikan, misalnya untuk sektor pendidikan hanya dianggarkan 7 % saja dari APBN ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), padahal Malaysia dan Thailand pada waktu itu sudah menganggarkan lebih dari 20 % untuk pendidikan dari APBN nya. Persoalan anggaran ini meski tidak menjadi satu-satunya faktor tetapi keberadaanya memiliki dampak yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
 

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dan kini Indonesia berada pada masa demokrasi yang mulai maju, berbagai masalah masih terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berkantor pusat di Hongkong, mengumumkan hasil surveinya tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang pendidikanya terburuk di kawasan Asia dan bahkan satu tingkat di bawah Vietnam. Selain itu kualitas sumber daya manusia Indonesia juga rendah sebagaimana dijabarkan dalam Human Development Index (HDI) pada tahun 2004 lalu. Pada saat ini Indonesia menduduki peringkat 110 dari 173 negara, terburuk di Asia Tenggara. Variable yang digunakan dalam penghitungan HDI mencakup tiga bidang strategis pembangunan yaitu: pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
 

Lalu, bagaimana kita mensikapi fenomena keterpurukan bangsa kita di atas? Sulit memang untuk merubah masalah bangsa yang jumlah penduduknya lebih dari 210 juta jiwa. Padahal kedepan bangsa kita akan menghadapi tantangan yang cukup berat, menyangkut kehidupan bangsa Indonesia secara nasional dan dalam kehidupan global diantara bangsa-bangsa di dunia.
 

Kunci utama bagi suksesnya pendidikan untuk masa depan bangsa adalah sejauhmana kita tetap optimis menatap masa depan, tanpa harus kehilangan rasionalitas kita untuk selalu mengoreksi diri dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Secercah optimisme kini sudah mulai nampak, misalnya bisa dilihat dari jumlah anggaran pendidikan yang akan dinaikan menjadi 20 % dari APBN. Tidak tangggung-tanggung kenaikan anggaraan pendidikan ini tertuang dalam amandemen UUD 1945. Meski hingga saat ini realisasinya masih belum nampak, tetapi optimisme akan terwujudnya amanah UUD 1945 itu harus terus dijaga. Apalagi kini bangsa kita menjadi bangsa yang Demokratis di mata dunia Internasional (setelah pemilu 2004 menjadi negera demokrasi terbesar setelah Amerika dan India), dan ini menjadi modal penting bagi identitas kemajuan sebuah bangsa.
 

Optimisme saja memang tidak cukup kalau tidak diikuti dengan langkah-langkah konkrit. Lalu, langkah konkrit apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita untuk masa depan ? Tentu jawabanya amat sangat banyak, tetapi penulis coba menjawabnya secara sederhana saja. Beberapa jawaban sederhana dibawah ini bisa juga sebagai refleksi untuk sama- sama kita renungkan.
 

Pertama, pendidikan itu tanggungjawab semua warga negara, bukan hanya tanggungjawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan. Sehingga diandaikan ada warga negara yang tidak bisa sekolah hanya karena tidak punya uang, maka warga negara yang kaya atau tergolong sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan sekolah anak yang tidak beruntung itu. ( ingat ! akibat krisis yang berkepanjangan, jumlah anak putus sekolah pada tahun ini mencapai puluhan juta anak di seluruh Indonesia).
 

Kedua, penulis meyakini paradigma yang mengatakan bahwa "pendidikan itu dimulai dari keluarga". Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama dirasakan oleh seorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Karena itu pendidikan di keluarga yang mencerahkan dan mampu membentuk karakter anak yang soleh dan kreatif adalah modal penting bagi kesuksesan anak di masa-masa selanjutnya.
 

Ketiga, kurikulum pendidikan, metodologi pengajaran, sitem evaluasi dan kesejahteraan guru, juga adalah hal penting yang harus terus di perbaiki. Masalah kurikulum misalnya bisa dicermati dari padatnya kurikulum atau terlalu banyaknya pelajaran juga menjadi persoalan tersendiri yang seringkali menghambat kreatifitas guru mapun siswa. Penulis sebetulnya lebih setuju jika sekolah menerapkan sitem SKS ( Sistem Kredit Semester), dimana siswa diberikan kebebasan memilih mata pelajaran wajib dan pilihan dan ada ketentuan batas minimal jumlah kredit yang harus diselesaikan sehingga dinyatakan lulus suatu jenjang pendidikan tertentu.(khususnya untuk tingkat SMP dan SMA). Apalagi jika sistem SKS ini dipadukan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mungkin akan lebih membuat siswa menikmati belajar. Masalah metodologi pengajaran juga perlu terus dikembangkan ( ini kewajiban guru). Sementara masalah sistem evaluasi juga perlu terus diperbaiki, seperti misalnya masalah Ujian Nasional yang hingga kini masih dipermasalahkan. Dan masalah kesejahteraan guru, ini juga perlu di cermati. Sebab, bagaimana mungkin guru akan asyik mengajar sementara urusan kesejahteraannya bermasalah. Atau bagaimana mungkin guru mengajar tidak gagap tehnologi dan informasi, sementara ia tidak punya uang untuk beli majalah, jurnal, buku-buku baru, apalagi beli komputer yang bisa akses dengan mudah ke internet!?. Karena itu kesejahteraan guru juga harus diperhatikan.
 

Keempat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi masa depan diperlukan juga ketegasan untuk menegakkan aturan-aturan maen pendidikan yang konsisten dan konsekuen. Sekolah seringkali tidak menghargai siswa yang belajar sungguh-sungguh, buktinya ada banyak siswa yang enggak belajar, malas-malasan, nilainya selalu merah, tapi naik kelas juga?! Pokoknya 100% selalu naik kelas. Ini kan sama artinya tidak menghargai anak yang sungguh-sungguh belajar. Sebab yang santai-santai saja pasti naik kelas. Dan juga sekaligus tidak mendidik anak untuk belajar menghadapi resiko. Karena itu jangan heran jika mental manusia Indonesia cenderung enggak berani mengambil resiko, karena di sekolah tidak diajarkan untuk menghadapi resiko.?
 

Kelima, pendidikan itu tidak hanya untuk mencerdaskan anak dalam satu kategori kecerdasan, misalnya hanya kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainya. Seperti kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan rasa (EQ), dan kecerdasan ketahanmalangan (AQ), dan sebagainya. Atau para ahli psikologi menyebutnya sebagai Multiple Intelligence. Sebab, salah satu penyebab bangsa kita berlarut-larut dalam krisis juga karena bangsa kita miskin SQ atau tepatnya miskin ahlak. Karena itu hal-hal yang sifatnya spiritual juga menjadi sesuatu yang penting untuk terus di jaga dan dikembangkan melalui pendidikan. Termasuk juga membentuk semangat team work, pluralism, dan optimistik perlu dikembangkan di sekolah, misalnya bisa melalui kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, dan kegiatan keagamaan. Itulah sebabnya Ki Hajar Dewantara sejak awal mendirikan sekolah Taman Siswa juga mengedepankan pendidikan yang memekarkan rasa.
 

Keenam, mulailah merubah dari diri sendiri. Sebab untuk kemajuan masa depan bangsa harus bisa dimulai dari diri sendiri. Tentu saja dengan terus meningkatkan kualitas diri. Bukankah kemajuan sebuah bangsa tidak bisa terwujud dengan perilaku santai dan bermalas-malasan !!!?.
 

Ubedilah Badrun, Pemerhati Pendidikan dan Praktisi Pendidikan. Saat ini tinggal di Tokyo dan mengajar di Tokyo Indonesian School.
 


Memanfaatan Museum Sebagai Sumber Pembelajaran


Oleh : Iwan Hermawan, S.Pd., M.Pd 

"Apabila suatu bangsa adalah sebuah keluarga yang hidup dengan dan dalam rumah kebudayaannya, maka Museum dapatlah dipahami sebagai album keluarga itu. Di dalam album itulah foto-foto seluruh keluarga tersimpan dan disusun dari setiap masa dan generasi. Foto-foto itu ditatap untuk tidak sekedar menjenguk dan menziarahi sebuah masa lalu, sebab waktu bukan hanya terdiri dari ruang dimensi kemarin, hari ini dan besok pagi. Foto-foto itu adalah waktu yang menjadi tempat untuk menatap dan memaknai seluruhnya, bukan hanya peristiwa, akan tetapi juga pemaknaan di balik peristiwa-peristiwa itu. Pemaknaan tentang seluruh identitas, di dalam dan di luar kota. Foto-foto itu akhirnya bukan lagi dipahami sebagai sebuah benda" (HU Pikiran Rakyat, 22 Februari 2001).
Uraian tersebut menunjukkan, museum tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengumpulkan dan memamerkan benda-benda yang berkaitan dengan sejarah perkembangan kehidupan manusia dan lingkungan, tetapi merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan pengembangan nilai budaya bangsa guna memperkuat kepribadian dan jati diri bangsa, mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta meningkatkan rasa harga diri dan kebanggaan nasional.
Dalam kenyataannya, saat ini masih banyak masyarakat, termasuk kalangan pendidikan, yang memandang Museum hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan dan memelihara benda-benda peninggalan sejarah serta menjadi monumen penghias kota. Akibatnya, banyak masyarakat yang enggan untuk meluangkan waktu berkunjung ke Museum dengan alasan kuno dan tidak prestis, padahal jika semua kalangan masyarakat sudi meluangkan waktu untuk datang untuk menikmati dan mencoba memahami makna yang terkandung dalam setiap benda yang dipamerkan museum, maka akan terjadi suatu transfomasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang.
Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan suatu yang tidak dapat terpisahkan, karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran terutama berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia, budaya dan lingkungannya.
Museum sebagai Sumber Pembelajaran
Sebagai lembaga yang menyimpan, memelihara serta memamerkan hasil karya, cipta dan karsa manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat sebagai Sumber Pembelajaran bagi kalangan pendidikan, karena melalui benda yang dipamerkannya pengunjung dapat belajar tentang berbagai hal berkenaan dengan nilai, perhatian serta peri kehidupan manusia.
Kegiatan observasi yang dilakukan oleh siswa di Museum merupakan batu loncatan bagi munculnya suatu gagasan dan ide baru karena pada kegiatan ini siswa dirangsang untuk menggunakan kemampuannya dalam berfikir kritis secara optimal. Kemampuan berfikir siswa tersebut menurut Takai and Connor (1998), meliputi :
a. Comparing and Contrasting (kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati)
b. Identifying and Classifying (kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan objek yang diamati pada kelompok seharusnya).
c. Describing (kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati).
d. Predicting (kemampuan untuk memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan objek yang diamati).
e. Summarizing (kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat).
Kemampuan berpikir tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa adanya bimbingan dan pembinaan yang memadai dari gurunya. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis siswa melalui kegiatan kunjungan ke Museum, diantaranya :
a. Dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas untuk materi tertentu, guru perlu sering mengajak, menugaskan atau menyarankan siswa berkunjung ke Museum guna membuktikan uraian dalam buku teks dengan melihat bukti nyata yang terdapat di museum. Kegiatan ini idealnya dilakukan dengan melibatkan siswa dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk mempermudah guru dan pemandu museum membimbing siswa saat mengamati koleksi museum.
b. Memberikan pembekalan terlebih dahulu kepada siswa sebelum melakukan kunjungan ke museu, terutama berkaitan dengan materi yang akan diamati. Kegiatan ini dilakukan agar pada diri siswa tumbuh rasa ingin mengetahui dan membuktikan apa yang diinformasikan oleh gurunya atau pemandu museum.
c. Menyediakan alat bantu pendukung pembelajaran bagi siswa, berupa lembar pannduan atau LKS yang materinya disusun sesingkat dan sepadat mungkin serta mampu menumbuhkan daya kritis siswa terhadap objek yang diamati.
d. Selama kunjungan guru dan atau pemandu museum berada dekat siswa untuk memberikan bimbingan dan melakukan diskusi kecil dengan siswa berkenaan dengan objek yang diamati.
e. Setelah kegiatan kunjungan, siswa diminta untuk membuat laporan berupa kesimpulan yang diperoleh dari hasil kegiatan kunjungan ke museum, kemudian hasil tersebut didiskusikan dalam kelas.
f. Pada bagian akhir kegiatan, guru perlu melakukan evaluasi terhadap program kegiatan kunjungan tersebut sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan kunjungan tersebut.
Selain upaya yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan kunjungan ke Museum, pihak pengelola (kurator) museum juga perlu melakukan berbagai upaya agar pengunjung, terutama kalangan pendidikan dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam kegiatan kunjungannya. Upaya dapat dilakukan oleh pengelola museum dalam menjadikan museumnya sebagai sumber bagi kegiatan pembelajaran, diantaranya :
a. Menyediakan panel informasi singkat berkenaan dengan pembagian ruang dan jenis koleksi yang dipamerkannya di pintu masuk museum, sehingga pengunjung dapat memperoleh gambaran isi museum secara lengkap begitu masuk pintu museum, sehingga walau pengunjung hanya masuk ke salah satu ruangan, dia tidak akan kehilangan "cerita" yang disajikan museum.
b. Menyediakan panel-panel informasi yang disajikan secara lengkap dan menarik sebagai pelengkap benda koleksi pameran dan diorama.
c. Menyediakan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pendidikan, seperti leaflet, brosur, buku panduan, film, mikro film, slide dan lembar kerja siswa (LKS), sehingga pengunjung dengan mudah mempelajari objek yang dipamerkan museum.
d. Khusus berkenaan dengan LKS, perlu dirancang LKS museum yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing tingkatan usia siswa serta mampu membangkitkan daya kritis siswa sesuai dengan tingkatannya.
e. Museum perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan permainan museum yang menarik dan mampu meningkatkan pemahaman siswa akan objek yang dipamerkan.
Perlunya kerjasama antara sekolah dengan Pengelola Museum
Diatas sudah diuraikan bahwa pemanfaatan museum secara optimal oleh siswa dapat dicapai jika sebelum melakukan kegiatan kunjungan ke museum diberikan pengenalan terlebih dahulu berkenaan dengan materi atau objek yang dipamerkan. Melalui kegiatan eksplorasi pra kunjungan diharapkan siswa akan mampu menangkap berbagai informasi penting berkenaan dengan objek yang dipamerkan sesuai dengan apa diharapkan. Agar guru mampu melakukan bimbingan dalam kegiatan kunjungan ke museum, maka guru perlu menjalin kerjasama dengan pengelola museum guna memperoleh informasi lengkap tentang museum dan koleksi yang dipamerkannya.
Sebaliknya pihak pengelola (kurator) museum dalam menyusun berbagai program pendidikan di museum serta sarana penunjangnya, perlu melakukan kerjasama dengan kalangan pendidikan agar program pendidikan di museum dan sarana penunjangnya, seperti LKS, dapat sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kurikulum sekolah. Selain itu, antara museum satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kota perlu melakukan kerjasama dalam membuat buku informasi museum bersama yang nantinya buku tersebut dapat dibagikan kepada kalangan pendidikan, terutama sekolah, sehingga ketika akan melakukan kegiatan kunjungan dengan mudah guru menentukan museum mana yang akan dikunjungi sesuai dengan tuntutan kurikulum pada saat itu.
Akhirnya melalui pemanfaatan Museum sebagai sumber pembelajaran diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita dan keberadaan museum tidak hanya menjadi penghias atau monumen kota, semoga....

Kecantikan Sejati Wanita

Oleh : Abu Rashif AE

Pada prinsipnya, wanita shalihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai. Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri. Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya. Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat.
Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka banyak-banyaklah belajar dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. Seperti Siti Aisyah yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau adalah seorang istri yang bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak. Bisa jadi wanita shalihah itu muncul dari sebab keturunan. Bila kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangan kita tergambar diri seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses yang memakan waktu. Disini faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan dan lain-lain. Apa yang nampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.
Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan yang Allah pimpinkan. Dan aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja berlaku bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri yang akan berumah tangga. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. Usahakanlah kita mampu memberikan warna yang baik bagi orang lain, bukan sebaliknya malah kita yang diwarnai oleh pengaruh buruk orang lain.
Jika para wanita muda mampu menjaga diri dan memelihara akhlaknya, maka iman kaum laki-laki akan semakin kuat. Cahaya keshalihahan wanita mukminah akan menjadi penyejuk sekaligus peneguh hati orang-orang beriman. Apalagi bagi kaum muda yang sangat rentan dari godaan syahwat. Mereka harus dibantu dalam melawan godaan-godaan. Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga dan bahkan negara. Kita pernah mendengar, bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka bisa dibayangkan, berapa banyak kesuksesan yang akan diraih.Wallahu a`lam bish shawab.

Sungai Didasar Laut Mexico (Cenote Angelita)



Adanya sungai di dalam laut Mexico memang menjadi fenomena yang unik dan mengundang perhartian banyak orang, Karena secara ilmiah sungai di dalam laut itu tidak mungkin terjadi. Namun Anatoly Beloshchin, seorang penyelam berhasil mengambil gambar 'sungai di dalam laut' dari kedalaman 60 meter perairan Cenote Angelita, Mexico.

Seperti dilansir crystalkiss.com, di kedalaman lebih dari 30 meter tim penyelam menemukan air tawar di tengah kolom air laut. Kondisi itu berubah dan penyelam kembali menemukan air laut mulai melewati kedalaman 60 meter.








 Beberapa meter dari lokasi itu akan ditemukan sebuah gua. Di bagian bawah dekat gua itu tim penyelam menemukan sebuah sungai lengkap dengan pohon dan dedaunan yang mengapung di kolom air itu.

Ternyata lokasi itu bukanlah sungai seperti yang terlihat di daratan. Tetapi, suasana itu memang mirip sungai lengkap dengan lapisan seperti air yang berwarna agak kecoklatan.

Tapi tunggu dulu, warna kecoklatan itu bukanlah berasal dari air tawar. Disebutkan, bagian kecoklatan yang mirip air sungai itu adalah lapisan bagian bawah gas hidrogen sulfida. Gas yang biasanya dihasilkan dari saluran pembuangan kotoran.

Secara keseluruhan, tim penyelam menemukan itu adalah kondisi yang sangat mengejutkan dan menakjubkan untuk dipandang.
Adanya sungai didasar laut tersebut merupakan bukti kebenaran Al qur’an.
ü  QS Fushshilat : 53. “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ”

ü  QS Al Furon : 53. “Dan Dia-lah yang Membiarkan dua laut mengalir: yang ini tawar lagi segar, sedang yang ini asin lagi pahit. Dan Dia Menjadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.”


Tafsirnya :
Wa huwal ladzī marajal bahraini (dan Dia-lah yang Membiarkan dua laut mengalir), yakni yang melepaskan dua laut.
Hādza ‘adzbuη furātun (yang ini tawar lagi segar) dan baik.
Wa hādzā milhun ujājuw wa ja‘ala bainahumā (sedang yang ini asin lagi pahit. Dan Dia Menjadikan antara keduanya), yakni antara yang asing dan yang tawar itu.
Barzakhan (dinding), yakni pemisah.
Wa hijram mahjūrā (dan batas yang menghalangi), yakni satu sama lain sama sekali tidak akan saling mengubah rasa.

ü  QS Al Kahf : 60. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan bertahun-tahun.”


Tafsirnya :
Wa idz qāla mūsā li fatāhu (dan [ingatlah] ketika Musa berkata kepada pembantunya), yakni kepada bujangnya yang bernama Yusya‘ bin Nun, dan ia termasuk salah seorang kaum Bani Israil yang terkemuka. Penggunaan lafazh fatā . (pembantu atau bujang) pada ayat ini karena ia mengikuti dan melayani Musa.
Lā abrahu (aku tidak akan berhenti), yakni aku akan terus berjalan.
Hattā ablugha majma‘al bahraini (sebelum sampai ke pertemuan dua laut) yang tawar dan yang asin, yaitu laut Persia dan laut Romawi.
Au amdliya huqubā (atau aku akan berjalan bertahun-tahun). Menurut pendapat yang lain, dalam tempo yang lama.


ü  QS Ar Rahmaan : 19-20. “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” 

Selasa, 08 Mei 2012

Erin Brockovich (Tugas Kimia Lingkungan)


Film ini based on true story yang mengisahkan seorang janda yang bernama Erin Brockovich (di perankan mbak Julia Robert) dengan tiga orang anak yang lucu-lucu. Erin adalah seorang pengangguran yang akhirnya mendapatkan pekerjaan di firma hukum kecil milik Ed Masry.  Suatu ketika Erin memeriksa file di kantornya dan dia menemukan kejanggalan pada klaim milik Donna Jensen pada perusahaan elektrik, PG&E.  Klaim itu berisi penolakan Donna untuk menjual rumahnya dan di dalam dokumen itu ada pula surat pemeriksaan kesehatan Donna. Atas dasar itulah Erin mulai menyelidiki sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Setelah dua tahun penyelidikan, dia menemukan bukti yang  menunjukkan ternyata kawasan Hinkley, di mana Donna tinggal, telah mengalami keracunan Chromium dari perusahaan PG&E. Chromium ini digunakan perusahaan untuk mengurangi karat pabrik lewat air tanah. Dan tentu saja chromium ini mengkontaminasi air yang digunakan warga Hinkley. Padahal chromium merupakan bahan kimia berbahaya yang bisa menyebabkan keguguran, kanker, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Di bagian akhir, Erin mewakili warga Hinkley berhasil memenangkan pengadilan terhadap PG&E. Bahkan dia mendapat bonus $2juta dan setiap keluarga di Hinkley mendapatkan ganti rugi $5juta.
Dari film ini kita bisa memetik pesan bahwa seorang Erin Brokovich yang berkarakter kuat dan tanpa memiliki pendidikan hukum, berhasil memperoleh keadilan bagi warga Hinkley. Itu disebabkan karena dia selalu yakin dengan apa yang dikatakan hati nuraninya. Selain itu, Erin memiliki jiwa sosial yang tinggi didukung dengan kemampuan komunikasi yang dimilikinya.

Kamis, 17 Mei 2012

Mari Menghina Bangsa Sendiri


(Renungan Harkitnas 2007) 
Oleh:
 M. Syukur Salman 

Hari Kebangkitan Nasional setiap tahun kita peringati sebagai suatu tonggak bersejarah bangsa ini. Semangat persatuan suatu bangsa dimulai dengan rasa Nasionalisme yang menjadi sendinya. Perjuangan kedaerahan pada saat itu dengan serta merta ditinggalkan, lalu diganti dengan perjuangan persatuan dan kesatuan. 20 Mei 1908, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai tolok ukur adanya kemauan untuk menyatakan Indonesia sebagai Bangsa yang Merdeka. Hal ini penting, karena pada saat itu sebagian besar dari rakyat Indonesia sendiri yakin bahwa bangsa ini tak akan berubah dari kodratnya sebagai Bangsa Terjajah. Perjalanan atas kesadaran Bangsa Indonesia untuk merdeka baru terwujud hampir 40 tahun lamanya, yakni 17 Agustus 1945. Sungguh suatu perjalanan waktu yang tidak singkat. Sedikit demi sedikit kesadaran Bangsa ini muncul akan potensi yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia termasuk bangsa-bangsa yang telah merdeka sebelumnya.
 

Suatu bangsa yang besar akan mengalami pasang surut persoalan kebangsannya. Indonesia sebagai bangsa yang besar telah mengalami berbagai macam tantangan yang menerpa dan memporak-porandakan sendi-sendi kebangsaan. Disaat bangsa-bangsa lain memacu diri dengan persaingan yang ketat demi kemajuannya, kita masih berkutat dengan persoalan di dalam negeri sendiri yang hampir-hampir terasa tiada habisnya. Konsekuensi dari itu semua adalah semakin berkurangnya rasa nasionalisme bangsa ini. Hal yang sungguh tragis adalah banyak dari anak bangsa ini yang justru "menghina" Indonesia sebagai bangsa tempatnya berdiam, berusaha, beranak pinak, dan terutama bangsa tempatnya hidup dan memberi kehidupan kepadanya,
 

Disadari atau tidak, banyak di antara anak bangsa ini yang "menghina" Indonesia. Bahkan yang paling memuakkan jika yang "menghina" itu adalah seorang publik figur negeri ini. Dengan intelegensi yang "katanya" tinggi, mereka dengan lapangnya melontarkan "penghinaan" terhadap bangsanya. Perbandingan yang kurang fair pun dia kemukakan antar Indonesia dengan Negara lainnya. Anak-anak kita yang mendengar pembicaraan demikian akan tumbuh menjadi penerus-penerus yang tidak cinta akan negeri sendiri. "Penghinaan" terhadap bangsa ini mereka kemukakan dengan lelucon demi suatu tujuan yang sangat nista yakni popularitas. Sebagai seorang akademisi, pejabat, birokrat, dan lainnya seolah mereka berkata: Mari bersama-sama Kita Menghina Bangsa Sendiri.
 

Kondisi saat ini memang sulit. Oleh karena itu, mari kita bersama merasakan kesulitan ini. Tak elegan kiranya jika kita menjadikan kondisi sulit ini untuk mencari popularitas dengan "menjual dan menghina" keterpurukan Indonesia saat ini. Tak ada yang anda perbaiki dengan terus menerus "menghina" bangsa ini. Dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsa ini, masyarakat kita justru memandang anda sebagai seorang frustrasi. Tidaklah layak mereka-mereka yang gemar "menghina" Indonesia dijadikan pembicara dalam suatu pertemuan, apalagi pertemuan ilmiah yang melibatkan akademisi atau unsur pendidikan.
 

Sebagai masyarakat sebaiknya kita menyaring setiap pembicara yang akan didengar. Pembicara-pembicara yang hanya membuat audiensnya tertarik mendengar bicaranya dengan melontarkan "hinaan-hinaan" terhadap bangsanya sendiri, haruslah diyakini bahwa mereka kurang berkualitas. Bahkan akan lebih baik jika pembicara atau tokoh yang demikian kita boikot dengan meninggalkannya pada saat mereka berbicara. Kurang sopankah tindakan kita? Pembicara yang baik tentulah tidak pantas jika kita tinggalkan, tapi pembicara yang "menghina" bangsanya sendiri sudah sepatutnya mereka mengoceh sendiri saja.
 

Kita salut atas keberatan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia baru baru ini atas penggunaan kata "Indon" untuk menyebut Bangsa Indonesia. Ada nuansa ejekan dengan penggunaan kata "Indon" tersebut. Di dunia ini tak ada Negara bernama Indon, tapi yang ada adalah Indonesia. Jika anak-anak bangsa ini masih tergugah nasionalismenya walaupun mereka nun jauh di negeri orang, mengapa kita justru menjadi orang-orang yang kehilangan nasionalisme kita, dengan menjadikan nuansa keterpurukan bangsa ini sebagai bahan lelucon dan hinaan. Dengan "menghina" Indonesia sebenarnya justru berarti kita menghina diri kita sendiri? Suatu kesalahan besar yang telah kita perbuat, yakni menghina diri sendiri. Kita sebenarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia ini sebagai suatu bangsa.
 

Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum yang paling tepat untuk menyadari kekhilafan kita selama ini. Bagaimana mungkin kita tidak menyadari, jika siang hari dengan tertawa kita "menghina" Indonesia dan selanjutnya malam hari kita mereguk keindahannya tidur di bumi Indonesia. Tak ada yang dapat berkelit bahwa bangsa kita saat ini memang terpuruk. Tapi pada bagian sejarah manakah dari perjalanan bangsa ini yang lebih terpuruk dibanding saat masa penjajahan dahulu? Lalu mengapa bangsa kita dapat lepas dari keterpurukan penjajahan tersebut? Jawabnya kecintaan terhadap negeri ini. Mereka sadar bahwa walau ap yang terjadi pada negeri ini, disinilah mereka lahir, hidup, dan akhirnya mati.
 

Momentum Hari Kebangkitan Nasional ini sebenarnya dapat memberi kita inspirasi terhadap perjuangan para pendahulu mengangkat keterpurukan bangsa ini. Tapi suatu tindakan yang sangat janggal jika kita dengan asyiknya mengumbar "hinaan" akan keterpurukan itu. Kesadaran kita akan terpuruknya bangsa ini sebaiknya dicetuskan dengan menjadi orang-orang yang inisiator dan kreatif. Mulailah dari kita sendiri. Bagaimana kita berkata jujur pada anak istri kita di rumah, jika kita seorang kepala rumah tangga. Bagaimana kita jujur kepada bawahan kita, tidak korupsi, dan selalu tak tenang akan penyelewengan dan ketidak jujuran, jika kita seorang pemimpin. Sebagai guru, kita jalankan tugas mengajar dan mendidik dengan baik. Sebagai Kepala Sekolah, mari kita gunakan dana-dana yang diterima sesuai peruntukannya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kecil yang justru sangat berpengaruh akan perubahan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih maju. Akhirnya, ucapan selamat kepada semua anak bangsa yang masih punya idealisme dan nasionalisme sebagai Bangsa Indonesia. SEKIAN.

Kajian Teoritis Mengenai Ketimpangan Gender


Oleh : JUNAIDI, SE,M.Si (junaidi_chaniago@yahoo.com) 
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Jambi 

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perem¬puan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. 

Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelat¬ihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991). 

Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori segmen¬tasi pasar tenaga kerja dan teori feminis. Dua teori pertama lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. 

Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai varia¬bel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaan- perbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasion¬al. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994). 

Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (prime-age) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982). 

Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibat¬kan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated jobs, sehingga perempuan terkon¬sentrasi secara berlebih dalam suatu range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut. 

Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan landasan yang sama, kare¬nanya tidak mempunyai akses yang sama ke lapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi. 

Selanjutnya, untuk teori feminis, terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan feminis radikal, feminis marxis (sosialis) dan feminis liberal (Saptari,1997). Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketim¬pangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengen¬dali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Pandangan feminis radikal ini terlalu menonjolkan determinisme biologis dan tidak mampu menjelaskan mengapa fakta perbedaan seks bisa ber¬kembang menjadi perbedaan gender. Adapun pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengung¬guli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan. Pendekatan feminis marxis ini terlalu memfokuskan pada hubungan perempuan dengan kapital dan cara-cara berproduk¬si dan kurang menyoroti sebab-sebab ketimpangan gender dan subordinasi perempuan. Sedangkan pendekatan feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. 

Selanjutnya pendekatan feminis liberal, kedudukan perempuan yang relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang menempat¬kan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan disosialisasikan pada kegiatan-kegia¬tan domestik dan sifat-sifat kewanitaan seperti sekreta¬ris, resepsionis, waitres dan lainnya. Perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenderungan pekerjaan menerima perintah bagi perempuan dan memberi perintah bagi peker¬jaan laki-laki (Collins, 1991). 

Terbentuknya perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki, dimana wilayah kekuasaan perempuan di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah. Hal ini dapat dilihat dari perspektif (Berger dan Luckmann,1976): Pertama, konstruksi Sosial, yang menerangkan bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Menurut Berger, karena a. Proses eksternalisasi, yaitu suatu nilai yang diproduksi oleh individu dari yang tidak ada menjadi ada. b. Proses objektivikasi, yaitu kesepakatan-kesepaka¬tan tadi menjadi realitas sosial atau proses penolakan dan proses penerimaan sehingga realitas terbentuk. c. Proses Internalisasi, yaitu dari individu itu sendiri karena sebenarnya individu merupakan bagian dari masyarakat sosial. Kedua, Reproduksi Sosial, yaitu bagaimana sebenar¬nya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan/diintensifkan. Hal ini dilakukan a. dengan simbol-simbol, seperti dibentuknya 'Dharma Wanita' yang sebenarnya lebih menguatkan posisi perempuan di bidang domestik dan laki-laki di bidang publik, b. reproduksi status biologis perempuan, misalnya perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan berkaitan dengan kesehatan, melahirkan, perempuan yang sedang menstruasi lebih emo¬sional sehingga dapat merugikan perempuan dalam dunia kerja. c. reproduksi status kultural perempuan, misalnya perempuan lebih telaten, rapi,dll, sehingga perempuan diberikan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (sebagai pekerja marginal). 

Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu yang mewujud dari nilai-nilai yang diproduksi individu tersebut. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Mar'at (1982) persepsi ini sangat berhubungan dengan intuisi dan tercermin dalam bentuk perasaan senang/tidak senang terhadap sesuatu. 

Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit untuk memisahkan pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini berkaitan dengan konsep ketimpangan gender sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemud¬ian menjadi realitas objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam Abdullah (1996), setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur sosialnya. 

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objek¬tivikasi tersebut dapat menjadi suatu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Dengan demikian menurut Astuti (1997) banyak kaum perempuan yang menerima ketida¬kadilan jender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. 

Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Menurut Astuti (1997), kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Dapat dilihat dari pernya¬taan seorang pengusaha perempuan sebagaimana yang dikutip Hariadi (1997) yang mengemukakan bahwa berdasarkan penga¬lamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntung¬kan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi. Lebih lanjut dia mengemu¬kakan bahwa secara psikologis sikap itu memang pembawaan dari sifat-sifat kaum perempuan. 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus ketim¬pangan gender tersebut. Di samping upaya-upaya pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak, juga telah diatur dalam berbagai konvensi dan perundang-undangan. Pada tahun 1976, PBB telah mengeluarkan Deklarasi mengenai penghapu¬san diskriminasi terhadap perempuan. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Selanjutnya karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka sejak tahun 1984 dengan UU RI No. 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. 

Namun demikian upaya tersebut tidak akan berhasil dengan baik jika tidak diikuti oleh perubahan dalam kon¬struksi sosial. Raharjo (1996) mengemukakan harus diadakan dekonstruksi hubungan gender dan reorientasi pemahaman seksualitas. Dekonstruksi sosial pada tahap awal akan berdampak pada perubahan persepsi masyarakat baik laki-laki maupun perempuan terhadap hubungan gender tersebut. Pada tahap selanjutnya, hal tersebut sekaligus juga akan dapat memp¬erbaiki ketimpangan gender yang terjadi. 




Seni Budaya & Tradisi Luhur

Oleh: Joshua W. Utomo 

Salah satu seni-budaya warisan nenek moyang kita yang dulu sangat populer dan dinanti-nanti kehadirannya oleh masyarakat baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan: kesenian Wayang Kulit kini tampak berjuang keras mempertahankan eksistensinya.
 

Lambat laun jumlah penggemarnya pun mulai berkurang-tak sebanyak dulu lagi. Memang ada banyak faktor penyebab berkurangnya animo masyarakat terhadap seni Wayang Kulit ini, salah satunya adalah munculnya dunia hiburan produk asing yang telah menjarah seluruh pelosok wilayah di Indonesia ini.
 

Tak hanya di kota-kota metropolitan bahkan di dusun-dusun terpencil pun sudah bisa kita rasakan pengaruh Power Rangers, Pokemon, Terminator, Rambo, Superman, Batman dan sebagainya, menggantikan kehadiran tokoh-tokoh pewayangan seperti Puntadewa, Werkudoro, Janaka, Sri Raja Kresna, Sang Panakawan-Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, dan seterusnya.
 

Anak-anak kita kini tampaknya lebih familiar dengan nama-nama super-hero asing itu daripada nama-nama tokoh pewayangan atau cerita rakyat negeri sendiri.
 

Anak-anak kita itu (juga sebagian dari kita) kelihatannya merasa lebih sreg, modern dan bonafide bila bisa mengikuti perkembangan dunia super-hero produk asing itu.
 

Mereka pun tampaknya bangga sekali kalau memiliki nama dan atribut yang digunakan oleh super-hero asing itu. Sebaliknya mereka akan berkerut tak mengerti atau malah mungkin menolak mentah-mentah ketika diperkenalkan dan diajak rembugan atau nonton sajian Seni Wayang Kulit yang notabene produk negeri sendiri dengan segala keindahannya itu.
 

Sungguh amat disayangkan bila anak-anak kita, generasi penerus seni-budaya dan tradisi kita sudah mulai tidak mengenal dan tak-peduli lagi pada seni-budaya dan tradisi luhur nenek moyang yang tercipta, tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses panjang dan tak mudah itu.
 

Sepertinya sinyalemen adanya sikap-sikap ketidak-pedulian dan ketidak-mauan anak-anak kita untuk mengenal, menggali, dan mempelajari seni-budaya dan tradisi luhur itu bukanlah sesuatu sikap yang mengada-ada atau ketakutan yang tak beralasan.
 

Di saat yang seperti ini usaha dan karya nyata para pecinta dan aktivis (baca: seniman/seniwati) seni-budaya dan tradisi luhur yang mengakar di Bumi Pertiwi sungguhlah amat kita butuhkan. Bukan hanya untuk tujuan 'ngleluri' (melestarikan) tapi sekaligus 'menggethok-tularkan' (mengajar-sampaikan, menyebar-luaskan, membimbing) anak-anak kita yang sudah sedemikian 'kepincut' dan 'kedanan' dengan tokoh-tokoh super-hero produk asing yang tampil silih-berganti di layar TV setiap hari di tengah ruang keluarga kita.
 

Akan lebih menggila lagi pengaruh super-hero asing itu bila ada fasilitas unit komputer beserta aneka variasi video games dan permainan animasi di rumah, sehingga tak pelak lagi semakin bertubi-tubi pula pengaruh kuat super-hero asing yang seringkali diwarnai dengan adegan brutal, ceceran darah, dan bisingnya suara tembakan itu kepada anak-anak kita itu.
 

Lalu apakah kita harus menolak dan membuang semua yang berbau teknologi mutakhir dan produk asing? Tentu saja tidak demikian. Hasil karya manusia yang berupa kreasi teknologi mutakhir (baik itu kreasi domestik ataupun asing) ini malah sepatutnyalah kita syukuri dan nikmati.
 

Kita pergunakan dengan sebuah kesadaran penuh bahwa itu semua hanyalah untuk kebaikan dan kesejahteraan kita semua, terutama anak-anak--generasi penerus kita di masa mendatang. Bila penggunaan kreasi teknologi mutakhir itu sudah mulai melenceng dari kesadaran diri itu, maka saatnya ada upaya tegas untuk menyetopnya. Sebab bila tidak kerusakan dan kehancuran saja yang akan menemani kita semua.
 

Semoga anak-anak kita nantinya mau menengok, menggali, dan mempelajari kembali warisan seni-budaya dan tradisi luhur (pen: yang luhur saja, lho!) nenek moyang kita, baik itu yang berupa seni Tari, seni pagelaran Wayang Kulit, seni sastra, dan sebagainya. Sehingga nantinya gejolak sikap dan praktek brutal, tawuran, balang-balangan yang menggerogoti mental dan pola pikir anak-anak kita itu bisa terkikis bersih, digantikan oleh sebuah budaya seni edi peni yang halus dan luhur yang mampu mengasah budi pekerti dan mempertajam rasa kemanusiaan serta mengembalikan kemanusiaan anak-anak kita (juga kita) demi kebaikan dan kesejahteraan kita semua.
 

Salam Budaya,
 
JW Utomo
 
psikoterapis, penyair, corporate trainer/entertainer, motivator/hipnoterapis, dan penulis yang sekarang sedang berkelana di Boston, AS. Dia adalah pendiri dari Heal & Grow CenterT (www.healandgrowcenter.com) sebuah pusat penyembuhan holistik. Bersama istrinya (Cynthia C. Laksawana) mendirikan Sanggar KinanthiT(www.sanggar-kinanthi.com) dan JW Utomo ProductionsT (http://masterhypnotistusa.tripod.com) sebagai wahana mereka berseni-budaya dan berkiprah bagi kemanusiaan. Dia dapat dihubungi via prof_jw@yahoo.com.



Sebuah Refleksi Pendidikan Untuk Masa Depan


Oleh : Ubedilah Badrun 

Sengaja tulisan ini dibuat untuk sekedar urun rembuk dalam rangka menyambut peringatan hari pendidikan nasional 2 Mei 2005. Hari dimana 116 tahun yang lalu lahir seorang tokoh yang kemudian segenap hidupnya dicurahkan untuk kepentingan pendidikan anak bangsa walau harus menerima resiko merasakan kerasnya penjara kolonial Belanda. Dia pernah membuat Belanda marah dengan tulisanya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was. Dia adalah Ki Hajar Dewantara, anak Keraton yang tidak mau memakai embel-embel Raden di depan namanya. Ia menangis dan kemudian bergerak ketika melihat anak bangsa tidak bisa sekolah karena sekolah yang dibuat Belanda sangat diskriminatif dan cenderung hanya untuk orang-orang kaya. Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah untuk semua anak bangsa. Di sekolah inilah karakter kebangsaan anak bangsa di bentuk untuk masa depan bangsanya, sebuah kemerdekaan. Inilah salah satu titik penting, betapa pendidikan merupakan wahana yang paling strategis untuk membangun masa depan bangsa sebagaimana yang dicontohkan Ki Hajar Dewantara.
 

Kini, ketika kemerdekaan bangsa sudah lebih dari 59 tahun, persoalan pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak masalah dan bahkan mengalami keterpurukan. Banyak para ahli pendidikan mengemukakan bahwa keterpurukan bangsa Indonesia hari ini adalah akibat langsung maupun tidak langsung dari kesalahan kebijakan pemerintah Orde Baru(1966-1998) yang tidak peduli pada pendidikan, misalnya untuk sektor pendidikan hanya dianggarkan 7 % saja dari APBN ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), padahal Malaysia dan Thailand pada waktu itu sudah menganggarkan lebih dari 20 % untuk pendidikan dari APBN nya. Persoalan anggaran ini meski tidak menjadi satu-satunya faktor tetapi keberadaanya memiliki dampak yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
 

Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dan kini Indonesia berada pada masa demokrasi yang mulai maju, berbagai masalah masih terus menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang dilaporkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berkantor pusat di Hongkong, mengumumkan hasil surveinya tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang pendidikanya terburuk di kawasan Asia dan bahkan satu tingkat di bawah Vietnam. Selain itu kualitas sumber daya manusia Indonesia juga rendah sebagaimana dijabarkan dalam Human Development Index (HDI) pada tahun 2004 lalu. Pada saat ini Indonesia menduduki peringkat 110 dari 173 negara, terburuk di Asia Tenggara. Variable yang digunakan dalam penghitungan HDI mencakup tiga bidang strategis pembangunan yaitu: pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
 

Lalu, bagaimana kita mensikapi fenomena keterpurukan bangsa kita di atas? Sulit memang untuk merubah masalah bangsa yang jumlah penduduknya lebih dari 210 juta jiwa. Padahal kedepan bangsa kita akan menghadapi tantangan yang cukup berat, menyangkut kehidupan bangsa Indonesia secara nasional dan dalam kehidupan global diantara bangsa-bangsa di dunia.
 

Kunci utama bagi suksesnya pendidikan untuk masa depan bangsa adalah sejauhmana kita tetap optimis menatap masa depan, tanpa harus kehilangan rasionalitas kita untuk selalu mengoreksi diri dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Secercah optimisme kini sudah mulai nampak, misalnya bisa dilihat dari jumlah anggaran pendidikan yang akan dinaikan menjadi 20 % dari APBN. Tidak tangggung-tanggung kenaikan anggaraan pendidikan ini tertuang dalam amandemen UUD 1945. Meski hingga saat ini realisasinya masih belum nampak, tetapi optimisme akan terwujudnya amanah UUD 1945 itu harus terus dijaga. Apalagi kini bangsa kita menjadi bangsa yang Demokratis di mata dunia Internasional (setelah pemilu 2004 menjadi negera demokrasi terbesar setelah Amerika dan India), dan ini menjadi modal penting bagi identitas kemajuan sebuah bangsa.
 

Optimisme saja memang tidak cukup kalau tidak diikuti dengan langkah-langkah konkrit. Lalu, langkah konkrit apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita untuk masa depan ? Tentu jawabanya amat sangat banyak, tetapi penulis coba menjawabnya secara sederhana saja. Beberapa jawaban sederhana dibawah ini bisa juga sebagai refleksi untuk sama- sama kita renungkan.
 

Pertama, pendidikan itu tanggungjawab semua warga negara, bukan hanya tanggungjawab sekolah. Konsekuensinya semua warga negara memiliki kewajiban moral untuk menyelamatkan pendidikan. Sehingga diandaikan ada warga negara yang tidak bisa sekolah hanya karena tidak punya uang, maka warga negara yang kaya atau tergolong sejahtera memiliki kewajiban moral untuk menjadi orang tua asuh bagi kelangsungan sekolah anak yang tidak beruntung itu. ( ingat ! akibat krisis yang berkepanjangan, jumlah anak putus sekolah pada tahun ini mencapai puluhan juta anak di seluruh Indonesia).
 

Kedua, penulis meyakini paradigma yang mengatakan bahwa "pendidikan itu dimulai dari keluarga". Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Keluarga adalah lingkungan yang paling pertama dan utama dirasakan oleh seorang anak, bahkan sejak masih dalam kandungan. Karena itu pendidikan di keluarga yang mencerahkan dan mampu membentuk karakter anak yang soleh dan kreatif adalah modal penting bagi kesuksesan anak di masa-masa selanjutnya.
 

Ketiga, kurikulum pendidikan, metodologi pengajaran, sitem evaluasi dan kesejahteraan guru, juga adalah hal penting yang harus terus di perbaiki. Masalah kurikulum misalnya bisa dicermati dari padatnya kurikulum atau terlalu banyaknya pelajaran juga menjadi persoalan tersendiri yang seringkali menghambat kreatifitas guru mapun siswa. Penulis sebetulnya lebih setuju jika sekolah menerapkan sitem SKS ( Sistem Kredit Semester), dimana siswa diberikan kebebasan memilih mata pelajaran wajib dan pilihan dan ada ketentuan batas minimal jumlah kredit yang harus diselesaikan sehingga dinyatakan lulus suatu jenjang pendidikan tertentu.(khususnya untuk tingkat SMP dan SMA). Apalagi jika sistem SKS ini dipadukan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mungkin akan lebih membuat siswa menikmati belajar. Masalah metodologi pengajaran juga perlu terus dikembangkan ( ini kewajiban guru). Sementara masalah sistem evaluasi juga perlu terus diperbaiki, seperti misalnya masalah Ujian Nasional yang hingga kini masih dipermasalahkan. Dan masalah kesejahteraan guru, ini juga perlu di cermati. Sebab, bagaimana mungkin guru akan asyik mengajar sementara urusan kesejahteraannya bermasalah. Atau bagaimana mungkin guru mengajar tidak gagap tehnologi dan informasi, sementara ia tidak punya uang untuk beli majalah, jurnal, buku-buku baru, apalagi beli komputer yang bisa akses dengan mudah ke internet!?. Karena itu kesejahteraan guru juga harus diperhatikan.
 

Keempat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi masa depan diperlukan juga ketegasan untuk menegakkan aturan-aturan maen pendidikan yang konsisten dan konsekuen. Sekolah seringkali tidak menghargai siswa yang belajar sungguh-sungguh, buktinya ada banyak siswa yang enggak belajar, malas-malasan, nilainya selalu merah, tapi naik kelas juga?! Pokoknya 100% selalu naik kelas. Ini kan sama artinya tidak menghargai anak yang sungguh-sungguh belajar. Sebab yang santai-santai saja pasti naik kelas. Dan juga sekaligus tidak mendidik anak untuk belajar menghadapi resiko. Karena itu jangan heran jika mental manusia Indonesia cenderung enggak berani mengambil resiko, karena di sekolah tidak diajarkan untuk menghadapi resiko.?
 

Kelima, pendidikan itu tidak hanya untuk mencerdaskan anak dalam satu kategori kecerdasan, misalnya hanya kecerdasan intelektual (IQ) tetapi juga untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lainya. Seperti kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan rasa (EQ), dan kecerdasan ketahanmalangan (AQ), dan sebagainya. Atau para ahli psikologi menyebutnya sebagai Multiple Intelligence. Sebab, salah satu penyebab bangsa kita berlarut-larut dalam krisis juga karena bangsa kita miskin SQ atau tepatnya miskin ahlak. Karena itu hal-hal yang sifatnya spiritual juga menjadi sesuatu yang penting untuk terus di jaga dan dikembangkan melalui pendidikan. Termasuk juga membentuk semangat team work, pluralism, dan optimistik perlu dikembangkan di sekolah, misalnya bisa melalui kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, dan kegiatan keagamaan. Itulah sebabnya Ki Hajar Dewantara sejak awal mendirikan sekolah Taman Siswa juga mengedepankan pendidikan yang memekarkan rasa.
 

Keenam, mulailah merubah dari diri sendiri. Sebab untuk kemajuan masa depan bangsa harus bisa dimulai dari diri sendiri. Tentu saja dengan terus meningkatkan kualitas diri. Bukankah kemajuan sebuah bangsa tidak bisa terwujud dengan perilaku santai dan bermalas-malasan !!!?.
 

Ubedilah Badrun, Pemerhati Pendidikan dan Praktisi Pendidikan. Saat ini tinggal di Tokyo dan mengajar di Tokyo Indonesian School.
 


Memanfaatan Museum Sebagai Sumber Pembelajaran


Oleh : Iwan Hermawan, S.Pd., M.Pd 

"Apabila suatu bangsa adalah sebuah keluarga yang hidup dengan dan dalam rumah kebudayaannya, maka Museum dapatlah dipahami sebagai album keluarga itu. Di dalam album itulah foto-foto seluruh keluarga tersimpan dan disusun dari setiap masa dan generasi. Foto-foto itu ditatap untuk tidak sekedar menjenguk dan menziarahi sebuah masa lalu, sebab waktu bukan hanya terdiri dari ruang dimensi kemarin, hari ini dan besok pagi. Foto-foto itu adalah waktu yang menjadi tempat untuk menatap dan memaknai seluruhnya, bukan hanya peristiwa, akan tetapi juga pemaknaan di balik peristiwa-peristiwa itu. Pemaknaan tentang seluruh identitas, di dalam dan di luar kota. Foto-foto itu akhirnya bukan lagi dipahami sebagai sebuah benda" (HU Pikiran Rakyat, 22 Februari 2001).
Uraian tersebut menunjukkan, museum tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengumpulkan dan memamerkan benda-benda yang berkaitan dengan sejarah perkembangan kehidupan manusia dan lingkungan, tetapi merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan dan pengembangan nilai budaya bangsa guna memperkuat kepribadian dan jati diri bangsa, mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta meningkatkan rasa harga diri dan kebanggaan nasional.
Dalam kenyataannya, saat ini masih banyak masyarakat, termasuk kalangan pendidikan, yang memandang Museum hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan dan memelihara benda-benda peninggalan sejarah serta menjadi monumen penghias kota. Akibatnya, banyak masyarakat yang enggan untuk meluangkan waktu berkunjung ke Museum dengan alasan kuno dan tidak prestis, padahal jika semua kalangan masyarakat sudi meluangkan waktu untuk datang untuk menikmati dan mencoba memahami makna yang terkandung dalam setiap benda yang dipamerkan museum, maka akan terjadi suatu transfomasi nilai warisan budaya bangsa dari generasi terdahulu kepada generasi sekarang.
Bagi dunia pendidikan, keberadaan museum merupakan suatu yang tidak dapat terpisahkan, karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran terutama berkaitan dengan sejarah perkembangan manusia, budaya dan lingkungannya.
Museum sebagai Sumber Pembelajaran
Sebagai lembaga yang menyimpan, memelihara serta memamerkan hasil karya, cipta dan karsa manusia sepanjang zaman, museum merupakan tempat yang tepat sebagai Sumber Pembelajaran bagi kalangan pendidikan, karena melalui benda yang dipamerkannya pengunjung dapat belajar tentang berbagai hal berkenaan dengan nilai, perhatian serta peri kehidupan manusia.
Kegiatan observasi yang dilakukan oleh siswa di Museum merupakan batu loncatan bagi munculnya suatu gagasan dan ide baru karena pada kegiatan ini siswa dirangsang untuk menggunakan kemampuannya dalam berfikir kritis secara optimal. Kemampuan berfikir siswa tersebut menurut Takai and Connor (1998), meliputi :
a. Comparing and Contrasting (kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati)
b. Identifying and Classifying (kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan objek yang diamati pada kelompok seharusnya).
c. Describing (kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati).
d. Predicting (kemampuan untuk memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan objek yang diamati).
e. Summarizing (kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat).
Kemampuan berpikir tersebut tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa adanya bimbingan dan pembinaan yang memadai dari gurunya. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam menumbuhkan kemampuan berfikir kritis siswa melalui kegiatan kunjungan ke Museum, diantaranya :
a. Dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas untuk materi tertentu, guru perlu sering mengajak, menugaskan atau menyarankan siswa berkunjung ke Museum guna membuktikan uraian dalam buku teks dengan melihat bukti nyata yang terdapat di museum. Kegiatan ini idealnya dilakukan dengan melibatkan siswa dalam jumlah yang tidak terlalu besar untuk mempermudah guru dan pemandu museum membimbing siswa saat mengamati koleksi museum.
b. Memberikan pembekalan terlebih dahulu kepada siswa sebelum melakukan kunjungan ke museu, terutama berkaitan dengan materi yang akan diamati. Kegiatan ini dilakukan agar pada diri siswa tumbuh rasa ingin mengetahui dan membuktikan apa yang diinformasikan oleh gurunya atau pemandu museum.
c. Menyediakan alat bantu pendukung pembelajaran bagi siswa, berupa lembar pannduan atau LKS yang materinya disusun sesingkat dan sepadat mungkin serta mampu menumbuhkan daya kritis siswa terhadap objek yang diamati.
d. Selama kunjungan guru dan atau pemandu museum berada dekat siswa untuk memberikan bimbingan dan melakukan diskusi kecil dengan siswa berkenaan dengan objek yang diamati.
e. Setelah kegiatan kunjungan, siswa diminta untuk membuat laporan berupa kesimpulan yang diperoleh dari hasil kegiatan kunjungan ke museum, kemudian hasil tersebut didiskusikan dalam kelas.
f. Pada bagian akhir kegiatan, guru perlu melakukan evaluasi terhadap program kegiatan kunjungan tersebut sebagai tolok ukur keberhasilan kegiatan kunjungan tersebut.
Selain upaya yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan kunjungan ke Museum, pihak pengelola (kurator) museum juga perlu melakukan berbagai upaya agar pengunjung, terutama kalangan pendidikan dapat memperoleh hasil yang maksimal dalam kegiatan kunjungannya. Upaya dapat dilakukan oleh pengelola museum dalam menjadikan museumnya sebagai sumber bagi kegiatan pembelajaran, diantaranya :
a. Menyediakan panel informasi singkat berkenaan dengan pembagian ruang dan jenis koleksi yang dipamerkannya di pintu masuk museum, sehingga pengunjung dapat memperoleh gambaran isi museum secara lengkap begitu masuk pintu museum, sehingga walau pengunjung hanya masuk ke salah satu ruangan, dia tidak akan kehilangan "cerita" yang disajikan museum.
b. Menyediakan panel-panel informasi yang disajikan secara lengkap dan menarik sebagai pelengkap benda koleksi pameran dan diorama.
c. Menyediakan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pendidikan, seperti leaflet, brosur, buku panduan, film, mikro film, slide dan lembar kerja siswa (LKS), sehingga pengunjung dengan mudah mempelajari objek yang dipamerkan museum.
d. Khusus berkenaan dengan LKS, perlu dirancang LKS museum yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing tingkatan usia siswa serta mampu membangkitkan daya kritis siswa sesuai dengan tingkatannya.
e. Museum perlu menyelenggarakan berbagai kegiatan permainan museum yang menarik dan mampu meningkatkan pemahaman siswa akan objek yang dipamerkan.
Perlunya kerjasama antara sekolah dengan Pengelola Museum
Diatas sudah diuraikan bahwa pemanfaatan museum secara optimal oleh siswa dapat dicapai jika sebelum melakukan kegiatan kunjungan ke museum diberikan pengenalan terlebih dahulu berkenaan dengan materi atau objek yang dipamerkan. Melalui kegiatan eksplorasi pra kunjungan diharapkan siswa akan mampu menangkap berbagai informasi penting berkenaan dengan objek yang dipamerkan sesuai dengan apa diharapkan. Agar guru mampu melakukan bimbingan dalam kegiatan kunjungan ke museum, maka guru perlu menjalin kerjasama dengan pengelola museum guna memperoleh informasi lengkap tentang museum dan koleksi yang dipamerkannya.
Sebaliknya pihak pengelola (kurator) museum dalam menyusun berbagai program pendidikan di museum serta sarana penunjangnya, perlu melakukan kerjasama dengan kalangan pendidikan agar program pendidikan di museum dan sarana penunjangnya, seperti LKS, dapat sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kurikulum sekolah. Selain itu, antara museum satu dengan yang lainnya yang berada dalam satu kota perlu melakukan kerjasama dalam membuat buku informasi museum bersama yang nantinya buku tersebut dapat dibagikan kepada kalangan pendidikan, terutama sekolah, sehingga ketika akan melakukan kegiatan kunjungan dengan mudah guru menentukan museum mana yang akan dikunjungi sesuai dengan tuntutan kurikulum pada saat itu.
Akhirnya melalui pemanfaatan Museum sebagai sumber pembelajaran diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita dan keberadaan museum tidak hanya menjadi penghias atau monumen kota, semoga....

Kecantikan Sejati Wanita

Oleh : Abu Rashif AE

Pada prinsipnya, wanita shalihah itu adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Rambu-rambu kemuliaannya bukan dari beraneka aksesoris yang ia gunakan. Justru ia selalu menjaga kecantikan dirinya agar tidak menjadi fitnah bagi orang lain. Kecantikan satu saat bisa jadi anugerah yang bernilai. Tapi jika tidak hati-hati, kecantikan bisa jadi sumber masalah yang akan menyulitkan pemiliknya sendiri. Saat mendapat keterbatasan fisik pada dirinya, wanita shalihah tidak akan pernah merasa kecewa dan sakit hati. Ia yakin bahwa kekecewaan adalah bagian dari sikap kufur nikmat. Dia tidak akan merasa minder dengan keterbatasannya. Pribadinya begitu indah sehingga make up apa pun yang dipakainya akan memancarkan cahaya kemuliaan. Bahkan, kalaupun ia polos tanpa make up sedikit pun, kecantikan jiwanya akan tetap terpancar dan menyejukan hati tiap-tiap orang di sekitarnya. Karena ia yakin betul bahwa Allah tidak akan pernah meleset memberikan karunia kepada hamba-Nya. Makin ia menjaga kehormatan diri dan keluarganya, maka Allah akan memberikan karunia terbaik baginya di dunia dan di akhirat.
Jika ingin menjadi wanita shalihah, maka banyak-banyaklah belajar dari lingkungan sekitar dan orang-orang yang kita temui. Ambil ilmunya dari mereka. Bahkan kita bisa mencontoh istri-istri Rasulullah Saw. Seperti Siti Aisyah yang terkenal dengan kecerdasannya dalam berbagai bidang ilmu. Ia terkenal dengan kekuatan pikirannya. Seorang istri seperti beliau adalah seorang istri yang bisa dijadikan gudang ilmu bagi suami dan anak-anak. Bisa jadi wanita shalihah itu muncul dari sebab keturunan. Bila kita melihat seorang pelajar yang baik akhlaknya dan tutur katanya senantiasa sopan, maka dalam bayangan kita tergambar diri seorang ibu yang telah mendidik dan membimbing anaknya menjadi manusia yang berakhlak. Sulit membayangkan, seorang wanita shalihah ujug-ujug muncul tanpa didahului sebuah proses yang memakan waktu. Disini faktor keturunan memainkan peran. Begitu pun dengan pola pendidikan, lingkungan, keteladanan dan lain-lain. Apa yang nampak, bisa menjadi gambaran bagi sesuatu yang tersembunyi.
Banyak wanita bisa sukses. Namun tidak semua bisa shalihah. Shalihah atau tidaknya seorang wanita bergantung ketaatannya pada aturan-aturan yang Allah pimpinkan. Dan aturan-aturan tersebut berlaku universal, bukan saja berlaku bagi wanita yang sudah menikah, tapi juga bagi remaja putri yang akan berumah tangga. Tidak akan rugi jika seorang remaja putri menjaga sikapnya saat mereka berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Bertemanlah dengan orang-orang yang akan menambah kualitas ilmu, amal dan ibadah kita. Ada sebuah ungkapan mengatakan, jika kita ingin mengenal pribadi seseorang maka lihatlah teman-teman di sekelilingnya. Usahakanlah kita mampu memberikan warna yang baik bagi orang lain, bukan sebaliknya malah kita yang diwarnai oleh pengaruh buruk orang lain.
Jika para wanita muda mampu menjaga diri dan memelihara akhlaknya, maka iman kaum laki-laki akan semakin kuat. Cahaya keshalihahan wanita mukminah akan menjadi penyejuk sekaligus peneguh hati orang-orang beriman. Apalagi bagi kaum muda yang sangat rentan dari godaan syahwat. Mereka harus dibantu dalam melawan godaan-godaan. Peran wanita shalihah sangat besar dalam keluarga dan bahkan negara. Kita pernah mendengar, bahwa di belakang seorang pemimpin yang sukses ada seorang wanita yang sangat hebat. Jika wanita shalihah ada di belakang para lelaki di dunia ini, maka bisa dibayangkan, berapa banyak kesuksesan yang akan diraih.Wallahu a`lam bish shawab.

Sungai Didasar Laut Mexico (Cenote Angelita)



Adanya sungai di dalam laut Mexico memang menjadi fenomena yang unik dan mengundang perhartian banyak orang, Karena secara ilmiah sungai di dalam laut itu tidak mungkin terjadi. Namun Anatoly Beloshchin, seorang penyelam berhasil mengambil gambar 'sungai di dalam laut' dari kedalaman 60 meter perairan Cenote Angelita, Mexico.

Seperti dilansir crystalkiss.com, di kedalaman lebih dari 30 meter tim penyelam menemukan air tawar di tengah kolom air laut. Kondisi itu berubah dan penyelam kembali menemukan air laut mulai melewati kedalaman 60 meter.








 Beberapa meter dari lokasi itu akan ditemukan sebuah gua. Di bagian bawah dekat gua itu tim penyelam menemukan sebuah sungai lengkap dengan pohon dan dedaunan yang mengapung di kolom air itu.

Ternyata lokasi itu bukanlah sungai seperti yang terlihat di daratan. Tetapi, suasana itu memang mirip sungai lengkap dengan lapisan seperti air yang berwarna agak kecoklatan.

Tapi tunggu dulu, warna kecoklatan itu bukanlah berasal dari air tawar. Disebutkan, bagian kecoklatan yang mirip air sungai itu adalah lapisan bagian bawah gas hidrogen sulfida. Gas yang biasanya dihasilkan dari saluran pembuangan kotoran.

Secara keseluruhan, tim penyelam menemukan itu adalah kondisi yang sangat mengejutkan dan menakjubkan untuk dipandang.
Adanya sungai didasar laut tersebut merupakan bukti kebenaran Al qur’an.
ü  QS Fushshilat : 53. “Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu. ”

ü  QS Al Furon : 53. “Dan Dia-lah yang Membiarkan dua laut mengalir: yang ini tawar lagi segar, sedang yang ini asin lagi pahit. Dan Dia Menjadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.”


Tafsirnya :
Wa huwal ladzī marajal bahraini (dan Dia-lah yang Membiarkan dua laut mengalir), yakni yang melepaskan dua laut.
Hādza ‘adzbuη furātun (yang ini tawar lagi segar) dan baik.
Wa hādzā milhun ujājuw wa ja‘ala bainahumā (sedang yang ini asin lagi pahit. Dan Dia Menjadikan antara keduanya), yakni antara yang asing dan yang tawar itu.
Barzakhan (dinding), yakni pemisah.
Wa hijram mahjūrā (dan batas yang menghalangi), yakni satu sama lain sama sekali tidak akan saling mengubah rasa.

ü  QS Al Kahf : 60. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan bertahun-tahun.”


Tafsirnya :
Wa idz qāla mūsā li fatāhu (dan [ingatlah] ketika Musa berkata kepada pembantunya), yakni kepada bujangnya yang bernama Yusya‘ bin Nun, dan ia termasuk salah seorang kaum Bani Israil yang terkemuka. Penggunaan lafazh fatā . (pembantu atau bujang) pada ayat ini karena ia mengikuti dan melayani Musa.
Lā abrahu (aku tidak akan berhenti), yakni aku akan terus berjalan.
Hattā ablugha majma‘al bahraini (sebelum sampai ke pertemuan dua laut) yang tawar dan yang asin, yaitu laut Persia dan laut Romawi.
Au amdliya huqubā (atau aku akan berjalan bertahun-tahun). Menurut pendapat yang lain, dalam tempo yang lama.


ü  QS Ar Rahmaan : 19-20. “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” 

Selasa, 08 Mei 2012

Erin Brockovich (Tugas Kimia Lingkungan)


Film ini based on true story yang mengisahkan seorang janda yang bernama Erin Brockovich (di perankan mbak Julia Robert) dengan tiga orang anak yang lucu-lucu. Erin adalah seorang pengangguran yang akhirnya mendapatkan pekerjaan di firma hukum kecil milik Ed Masry.  Suatu ketika Erin memeriksa file di kantornya dan dia menemukan kejanggalan pada klaim milik Donna Jensen pada perusahaan elektrik, PG&E.  Klaim itu berisi penolakan Donna untuk menjual rumahnya dan di dalam dokumen itu ada pula surat pemeriksaan kesehatan Donna. Atas dasar itulah Erin mulai menyelidiki sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Setelah dua tahun penyelidikan, dia menemukan bukti yang  menunjukkan ternyata kawasan Hinkley, di mana Donna tinggal, telah mengalami keracunan Chromium dari perusahaan PG&E. Chromium ini digunakan perusahaan untuk mengurangi karat pabrik lewat air tanah. Dan tentu saja chromium ini mengkontaminasi air yang digunakan warga Hinkley. Padahal chromium merupakan bahan kimia berbahaya yang bisa menyebabkan keguguran, kanker, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Di bagian akhir, Erin mewakili warga Hinkley berhasil memenangkan pengadilan terhadap PG&E. Bahkan dia mendapat bonus $2juta dan setiap keluarga di Hinkley mendapatkan ganti rugi $5juta.
Dari film ini kita bisa memetik pesan bahwa seorang Erin Brokovich yang berkarakter kuat dan tanpa memiliki pendidikan hukum, berhasil memperoleh keadilan bagi warga Hinkley. Itu disebabkan karena dia selalu yakin dengan apa yang dikatakan hati nuraninya. Selain itu, Erin memiliki jiwa sosial yang tinggi didukung dengan kemampuan komunikasi yang dimilikinya.